Kritik itu pedas bagai Lombok.
Keras pedasnya bergantung pada jumlah yang dilahap dan jenisnya.
Kalau terlalu banyak, pedas. Kalau terlalu sedikit, mungkin hanya 'mencekit'.
Bagi Si Perut Baja, kekuatan Lombok seberapapun dahsyatnya tidak jadi masalah.
Tetapi bagi Si perut manja. Tonjokan pedas yang mungkin tidak terlalu kuat dapat membawa petaka: Diare.
Kalau terjadi diare gara – gara Lombok, siapa yang patut disalahkan?
Si Lombok kah?
Sungguh kasihan, dia jadi Kambing Hitam. Sungguh kurang adil.
Tetapi, Si Empunya Perut Manjalah yang lebih patut di salahkan.
Dia seharusnya sadar sedari awal akan efek-buruk bagi Si Perut Lemah.
Namun, mengingat begitu menagihnya Lombok itu, wajarlah kalau Si Pemakan Lombok berperut lemah, tak kuasa menahan godaanya.
Bukan salah Lombok juga kalau dia memiliki daya sehebat itu.
Kalau dia bisa meminta, mungkin dia mau jadi sesuatu yang tidak pedas, sehingga kurang menggoda bagi Para Hidung Lombok.
Bodohkah menelusuri siapa yang patut bertanggung jawab disini?
Tentu saja tidak. Wajar sekali. Dalam hidup, kambing hitam memang dibutuhkan baik yang berupa sate maupun tongseng, selain fakta kalau kambing jenis ini berpotensi menjadi ancaman bagi para pemakanya dan pemakainya.
Apabila dipikir betul, maka yang paling mungkin untuk dimasukan dalam bui dengan Si Kambing Hitam itu adalah Si Perut Manja.
Dia terlalu lemah, manja, dan kurang dewasa. Sumber segala petaka.
Dasar Si Perut anti Lombok hiduplah dengan Para Kambing!
No comments:
Post a Comment