Hari ini saya merasa selama ini saya hidup dalam ketakutan. Ketakutan kalau - kalu hidup saya tidak berarti dan hanya menjadi beban bagi orang lain.
Saya menututupinya dengan menjejalkan banyak hal dalam hidup. Jadi, saya menyibukan diri sendiri agar lupa dengan kesendirian dan ketakutan yang saya alami.
Saya merasa tidak aman jika hanya mengusai satu hal. Saya membutuhkan rasa aman. Maka dari itu, saya mencoba menjadi sosok sempurna yang mandiri - bisa menghadapi segala sesuatunya sendiri.
Saya selalu berusaha menguasai banyak hal dan berakhir dengan menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa fokus dan konsisten.
Saya selalu berusaha menguasai banyak hal dan berakhir dengan menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa fokus dan konsisten.
Saya tahu kalau itu salah. Saya butuh orang lain. Saya bukan manusia super yang sanggup hidup sendiri. Mungkin hidup menyendiri di hutan bisa jadi pilihan yang menarik untuk menguji kemampuan saya untuk bisa mandiri seperti yang saya pikirkan selama ini.
Namun kalau ditelusuri dengan baik. Saya lebih suka berada di keramaian. Saya suka didengarkan. Saya suka bercerita banyak. Saya suka dimanjakan. Saya suka dianggap spesial. Saya selalu berusaha mencari perhatian yang cukup dari orang dan dikagumi atas apa yang saya telah buat atau ciptakan.
Saya juga sering lari dari kenyataan. Saya lebih suka berimajinasi, membuat dunia sendiri, menjadi orang lain. Dari sekian banyak karakter yang saya ciptakan ada satu kesamaan. Semua karakter yang saya ciptakan dalam alam imajinasi saya dalah karakter yang super. Super pinter, super-ganteng, super-model, super-cantik, super-baik, super-disenangi-orang, dan super yang lain. Saya lupa, terlalu banyak.
Kalau saya pikirkan lebih dalam lagi. Saya hanya memiliki hubugan yag suam - suam kuku dengan pencipta saya. Bahkan saya enggan menyebutkan namanya. Dan menulisnya memakai huruf kecil.
Saya pernah menjadi akftifis, yang menurut saya peribadi, hyper-active activist gereja. Saya selalu mencoba untuk terlibat dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan anak dan pemuda-remaja. Saya mau merelakan sebagian waktu saya untuk mempersiapkan sesuatu untuk murid sekolah minggu. Saya selalu marah jika majelis dan orang - orang 'atasan' di gereja seperti tidak memperdulikan mereka. Seakan apa yang saya buat sia - sia. Saya sadar waktu itu bahwa saya tidak bisa melakukan semua hal itu sendiri. Memang sulit bekerja dengan orang yang memiliki visi berbeda.
Mulai tahun 2010, saya memutuskan untuk hengkang dari pelayanan (dan gereja). Awalnya rasa bersalah saya sangat kentara. Setiap hari minggu saya merasa ada kurang. Saya tidak pergi ke gereja. Namun lambat laun, saya tidak peduli lagi. Orang yang sering bergereja mungkin bilang hati saya sudah tumpul.
Tentu saja saya hanya geli mendengarnya. Mereka tidak tahu saya. Mereka tidak paham apa yang saya alami. Mereka hanya bisa bicara dan menghakimi.
Saya masih memiliki hati. Saya masih menangis apabila saya mengingat betapa bodohnya saya menajdi seorang guru sekolah minggu yang tidak memiliki banyak persiapan. Saya terharu ketika melihat salah satu murid sekolah minggu saya yang bandel ketemu di jalan deket kos.
Dia bercerita kemana mereka pergi bersama temannya minggu lalu. Saya sedih. Saya dicintai, tapi saya tidak merespon cinta orang yang saya terima. Saya kemudian cepat - cepat pergi dan bilang samapai jumpa dengan Aselmo, murid Sekolah Minggu yang saya temui di jalan.
Mungkin masih ada Anselmo - Anselmo yang lain yang saya belum sempat temui.
Dia bercerita kemana mereka pergi bersama temannya minggu lalu. Saya sedih. Saya dicintai, tapi saya tidak merespon cinta orang yang saya terima. Saya kemudian cepat - cepat pergi dan bilang samapai jumpa dengan Aselmo, murid Sekolah Minggu yang saya temui di jalan.
Mungkin masih ada Anselmo - Anselmo yang lain yang saya belum sempat temui.
Saya mencoba untuk sadar bahwa apa yang saya alami sore itu sebuah alarm. Alarm dari pecinpta saya, You-know-who! Saya takut menyebut namanya.
Saya merasa alarm ini terus berdering. Setiap hari saya merasa bahawa ada sesuatu yang selalu mengingatkan saya. Saya kurang paham benar apa yang mereka coba katakan. Namun memakai pikiran manusia saya, yang pernah dibilang ngeri, saya dapat merasa harus mendekatkan diri kepada sesuatu. Sesuatu yang tangguh tak bertara.
Benar, otak saya memang ngeri, namun saya lebih suka memakai kata hebat. Itu lebih mencerminkan kehebatan pembuat saya. Hebatkan? Ini bukan pembenaran pribadi tetapi subuah kebanggan. Pencipta saya sangat lihai dalam merancang dan merealisasikan rancangangnya. Dia memang sang manager!
(Ini adalah tulisan refleksi saya tanggal 16 Juli 2010)
Benar, otak saya memang ngeri, namun saya lebih suka memakai kata hebat. Itu lebih mencerminkan kehebatan pembuat saya. Hebatkan? Ini bukan pembenaran pribadi tetapi subuah kebanggan. Pencipta saya sangat lihai dalam merancang dan merealisasikan rancangangnya. Dia memang sang manager!
(Ini adalah tulisan refleksi saya tanggal 16 Juli 2010)
No comments:
Post a Comment