Monday 22 November 2010

Ibu, Pencopets, dan Supir Angkot

(Refleksi tanggal 11 Oktober 2010. Hari yang sial: Kecopetan)

Saya memulai hari ini dengan agenda seperti biasa di hari Senin. Bangun siang, bermalas - malasan, tetapi tidak nonton TV, karena ada yang bermasalah dengan tv di rumah.

Saya cukup shock dan marah ketika ibu saya hanya punya uang 200.000 untuk uang saku saya minggu ini, 175.000 untuk bayar kos. Berarti uang saku hari ini Cuma 25 ribu rupiah. Jengkel rasanya. Pengen marah tapi tidak menyelesaikan masalah, atau paling tidak bisa nambah uang saku jadi full 150.000.

Alhasil saya memulai hari ini dengan amarah dan rasa kesal. Saat saya menulis tulisan inipun saya juga masih kesal dengan hal itu.

Saya naik ke bis kecil karena bis besar tidak juga lewat. Ketika naik awalnya tidak ada masalah, ada seorang bapak yang menggendong anak mempersilahkan saya duduk ditempatnya karena dia segera turun. Saya segera berterima kasih dan duduk.

Selang beberapa saat, saya mulai terganggu dengan 4 bapak yang duduk di sekitar, tiga di belakang,  satu ada di sebelah kanan saya. Salah satu bapak itu berpotongan crew-cut dengan penampilan sekedarnya. Dia selalu berkomentar tentang apa saja. Contohnya, ketika pak supir yang mulai mempedal gasnya karena ada angkutan yang lain yang muncul.

Di kesempatan lain, ketika bis sedang ngetem, dia turun entah buat apa. Intinya itu, dia tidak bisa duduk diam. Orang yang ketiga juga sama mengganggunya. Salah satu penumpang yang duduk di depan sedang mencoba menenangkan bayinya yang nangis. Tiba - tiba bapak yang di belakang saya teriak. 

'Itu haus, bu!'

Keliatanya baik, mengingatkan ibu yang sedang menenangkan anaknya. Meskipun terbukti anaknya langsung tenang, perilaku seperti itu bisa dikatakan kurang sopan. Berteriak kepada orang lain di bis yang belum saling kenal.

Saya seharusnya belajar dari seorang ibu guru yang selalu bersikap waspada.  Ibu tersebut tidak menggubris ketika salah seorang dari mereka mencoba menawari tempat duduk di sampingnya. Saya melihat rasa tidak nyaman di muka ibu itu.

Saya curiga mereka mengadakan briefing untuk mencopet saya lewat sms. Karena sepanjang perjalanan mereka tidak angkat suara satu sama lain. Sesekali mereka meminta rokok dengan memakai logatnya yang tidak ramah di telinga saya.

Saya yakin mereka mengambil dompet tersebut ketika saya turun dari bis. Biasanya saya langsung turun dari bis, tanpa memperdulikan siapapun. Anehnya, orang yang  mempersilahkan ibu guru tadi duduk di sampingnya, tiba - tiba memotong jalan saya. Saya harus berdiri dan berhenti sejenak menunggu antrean turun dari bis. Mereka sepertinya sudah memperhatikan saya dari awal, sehingga mereka tahu di mana saya menaruh dompet.

Tanpa menyadari hal tersebut, saya turun dan langsung cari angkot nomor 10. Baru sadar kalau dompet saya hilang, ketika saya duduk di angkot. Saya lihat tas depan sudah terbuka. Mereasa panik, saya minta pak sopir angkot untuk berhenti.

'Pak, saya turun di sini saja, dompet saya hilang!'

Bapak supir angkot tanya, 'Masnya dari mana?'

'Dari Kopeng, pak.' Saya ragu bapak supir angkot tahu mana itu Ngablak.

Bapaknya bilang kalau saya tetap boleh naik angkot.
Setelah sampai depan Toserba Sumber Jaya, saya turun dan berterima kasih kepada pak supir.

Saya sangat bersyukur bisa sampai di depan kos dengan selamat, hanya kurang dompet.

Kalau boleh saya merefleksikan apa yang terjadi.

Kejadian yang saya alami tampak acak. Dimulai dari kejengkelan saya karena masalah uang saku sampai seorang supir angkot nomor sepuluh yang mengantar saya untuk pulang ke kos. Seandainya saya menerima uang saku seberapapun jumlahnya dengan lapang dada, mungkin saya tidak terburu - buru cabut dari rumah dan tidak bertemu 4 pencopet.

Satu hal lagi, raut muka gerombolan copet dan pak supir angkot hampir mirip. Mereka bermuka garang dan serem, khas preman. Tapi, yang membedakan adalah tindakan, yang satu menolong dan yang lain nyolong. 

Saya harus mengurus KTM, KTP, Kartu ATM yang hilang. Tapi, paling tidak hari ini, saya bisa menjadi solusi bagi bapak pencopet yang sedang butuh uang dan menjadi jalan untuk bapak supir angkot untuk melakukan kebaikan dalam hidupnya.

An article on National Exam

(Artikel 'dibuang sayang', enjoy reading!)

A week ago senior high school students eventually got themselves a relief. Some of them now are finding the right place to study further or to earn for living whereas the rest is still gaining courage and spirit to take the remedial exam.

Subjects they had been tested on can’t be said to be a piece of cake. All those scientific concepts, language knowledge, and mathematical patterns could be troublesome for some students. Worried of failures, students take any possible path to get them ready for the scary-looking exam, for example by taking intensive private courses up to religious-related activities in order to get a moral support for the breath-taking event.

Likewise, schools devote their available resources, namely, finance, thoughts, energy, etc for the exam.  The national exam might be a milestone to measure their success in ‘educating’ students. This is paramount especially in the middle of the tough competition among educational institutions. Failing to deliver students to pass the exam could be very embarrassing for them and counter-productive to the campaign they have claimed that their schools are the best and apply international curriculum, provide magnificent facilities, and stuffs.

However, this frantic circumstance to preparing students for the national exam, schools might have forgotten that there is something vital missing in their practices. In a culturally and socially diverse nation like Indonesia, the understanding and tolerance across ethnicity, faiths, as well as economic strength deserve equal attention.  Being culturally, economically, and socially rich is not necessarily good, at the other hand it can be a source of conflict. And this is where school responsible for tackling the issue.

Applying a policy to prohibit students not to eat in front of Muslim peers during the fasting month is not yet sufficient. It has got to go beyond it. It is to nurture students’ sensitivity about others’ feelings, being able to sympathize and empathize, how it feels to be someone totally different to oneself, and eventually this would promote quality understanding to others who are socially, economically, and even physically distinct.  

Suppose all efforts the educational schooling succeeds, making students pass the exam, what kind of society shall be realized? There will come English-speaking generation of scientists who can make humans lives much easier than before. There also comes a time when everyone when intellectually advanced and has larger brain capacity. Sounds good, doesn’t it?

Similar to parents, schools are responsible for inseminating tolerance in the minds of young generations. The reason is the amount of time a student spends at school. They spend most their times at schools. From Monday to Saturday (or Friday) fro 7.30 am up to around 2 pm. They interact to each other and grow as adults most of the time at school. They learn how to cheat, skip some classes, and watch adult videos even in schools, not to mention to practice bullying. Schools indeed have potential power over students to get them more tolerant during the school hours. Every student grows both intellectually and emotionally at schools.

Surely, academic matters should never be abandoned. However, there should also be a place left to grow the understanding of diversity among students aside from the national exam.  It’s worth-doing at least to prevent the possible nightmare where war of the world between intellectually super advanced creatures slay one another over inevitable differences lay among them.