Tuesday 14 December 2010

KAKAK SAYA MBABU DI SINGGAPUR!

Tidak pernah terlintas di benak saya kalau seseorang yang berbagi kehidupan selama 21 tahun bersama, siang - malam, mengambil langkah yang mengguncang.

Saya kecewa. Kakak saya gagal untuk memberi contoh yang baik bagi saya dan anak perempuannya. Namun, alasan terbesarnya bukan itu. Ketauldanan dan role model bisa dikompensasikan. Sejatinya saya telah menemukan contoh yang jauh lebih baik. Jadi, saya tidak begitu dirugikan dalam hal ini.

Masalah terbesarnya adalah anak perempuannya yang masih berumur 5 tahun. Saya bisa berempati akan apa yang dia rasakan. Ditinggal orang tua. Saya tau benar apa rasanya kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup. Ada sesuatu yang selalu terasa kurang. Saya sangat sedih ketika saya lihat keponakan saya senyum dan tidak terbayang kalau menangis. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan hal seberat itu. Ditinggal seseorang yang hidup denganya 24 jam sehari dari sejak dia masih belum bisa apa - apa. Adillah kalau saya menangis untuknya. 

Umur kami hanya berselang 4 tahun. Kalau sekarang saya 21 tahun, maka kakak saya sekarang sudah berumur kurang lebih 25 tahun.  Kami tumbuh dalam rahim yang sama dan dibesarkan oleh orang yang sama. Tetapi, kami menapaki jalan hidup yang berbeda. Kalau saya tipe yang cukup egois dan penyendiri, tapi berotak encer, kakak saya sebaliknya. Dia supel, memiliki banyak teman, seorang petualang, pemberontak, dan sedikit lemah dalam hal akademis. Saya lebih suka menyendiri ditemani imajinasi. Dan kakak saya akan selalu mencari - cari waktu untuk pergi 'jeng-jeng'. Sejak kecil, kami sudah berbeda. 

Perbedaan tersebut dulu tidak terasa pengaruhnya. Tapi ketika mulai dewasa, hal tersebut berdampak. Mulai jelas kemana arah kehidupan kami. Puncaknya, pertengahan tahun ini, pola hidup kakak saya yang semrawut menyeret dia ke jurang. Terlalu dalam untuk ditolong. 

Kakak saya ningkah muda. Dia ningkah umur 21 tahun, seumuran saya sekarang. Sedari awal, saya adalah salah satu orang yang berkeberatan akan hal ini. Menurut saya mereka terlalu terburu - buru. Tapi ikrar sudah dikumandangkan, tidak bisa ditarik lagi. Dia sekarang sudah memiliki seorang anak perempuan. Dia dan anaknya  sangat dekat. Saya tahu kakak saya ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun sama seperti ibu kebanyakan, dia tidak tahu bagaimana caranya. Sayapun juga tidak. Ibu saya, apalagi. 

Memang hidup itu adalah sederetan keputusan dari setiap individu yang saling barkaitan membentuk suatu bangun rancang untuk menembus dimensi waktu.

Saya tulis sepenggal kisah kehidupan keluarga saya bukan untuk mengumbar borok. Malu sebenarnya untuk mengakui hal ini, apalagi menerbitkannya dalam blog ini. Saya hanya ingin untuk siapapun yang membaca kisah ini, dapat belajar sesuatu. Paling tidak merasa bersyukur memiliki orang yang dicintai disekitarnya. 

Sering saya menemukan banyak kisah - kisah bertuah yang dibiarkan membusuk begitu saja karena rasa malu ataupun bersalah. Dituliskan dalam sebuah cerita seperi ini memang lebih baik. Paling tidak ada seseorang yang akan membacanya dan mungkin dapat belajar sesuatu. Pelajaran tentang hidup bahwa hidup itu penuh dengan cerita yang tak terduga tapi sebenarnya bisa ditebak. Saya yakin ketika Anda membaca kisah ini, sesuatu kisah yang bertuah sedang terjadi.

Tulisan ini juga saya persembahkan untuk Ibu. Dia adalah yang seorang ibu tunggal yang ekstra tangguh. Dia menyekolahkan kami di sekolah yang sama dari TK, SD, SMP, dan SMA. Dia adalah sosok pekerja keras yang susah untuk kami ikuti.

Dan tulisan ini juga untuk kakak saya. Bagaimanapun dia. Seburuk dan sebaik apapun itu, dia adalah bagian dari hidup saya. Saya tidak mau hidup dalam kemunafikan, seperti apa yang selama ini saya jalani. Berpura - pura bahwa hidup saya dan keluarga sempurna, padahal tidak. Banyak sekali kekurangannya. 

No comments: